Jakarta kota metropolitan yang menyimpan berjuta harapan
bagi warganya. Megahnya kota ini menjadi salah satu daya tarik tersendiri .
Gedung – gedung yang tinggi, bangunan nan megah dan lampu – lampu jalanan yang
berkilau menjadi hiasan bagi para
penduduk kota yang tidak pernah tidur ini. Ribuan problematika ada di dalamnya,
namun hal tersebut tidak menyurutkan bagi mererka para pendatang untuk tinggal
di Jakarta.
Berbondong
– bondong datang ke Jakarta, menyimpan sejuta harapan di dada, mereka para
pendatang yang nekat mengadu nasib di Jakarta. Sebegitu besar harapan mereka,
namun kerasnya kota ini menjadi tantangan yang berat bagi mereka.
Imah,
seorang wanita yang berasal dari Purwokerto ini rela meninggalkan kampungnya demi
mencari kehidupan yang lebih layak. Datang ke Jakarta tanpa bekal apapun
membuat dirinya susah mendapat sebuah pekerjaan. Kini, ia harus bekerja membantu
menghidupi keluarga kecilnya tersebut. Bekerja sebagai PRT bukan hal yang ia
inginkan, berangkat dari rumah satu ke satunya, membereskan tiap rumah yang ia
pegang merupakan pekerjaan sehari – harinya. “Sebenarnya saya ingin bekerja
sebagai buruh, bekerja di pabrik atau jaga toko gitu, tapi sama suami tidak di
ijinkan karena takut anak tidak ke urus.” Ucap Imah.
Kerasnya hidup yang ia rasakan di
kota ini tidak berhenti begitu saja. Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin
peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kehidupannya sekarang ini. Rumahnya
habis terbakar, harta bendanya pun lenyap, hanya pakaian yang ada di tubuhnya
saja dan surat – surat penting yang terbawa saat itu. Kini, Imah harus tinggal
di sebuah gang sempit di Jakarta Utara. Ia tinggal di rumah yang hanya
berukuran 2 x 3m. Mirisnya, rumah sekecil itu yang terbuat dari kayu dan seng
harus dihuni oleh lima orang, bersama suami dan satu anaknya, serta adik Imah dan
suaminya yang merupakan korban kebakaran juga.
Bertahun – tahun ia menginjakan
kaki di kerasnya tanah Jakarta, selama itu pula ia menggantungkan nasibnya pada
kota ini. Ia sadar tak mudah bagi dirinya untuk mengikuti alur kehidupan kota
nan megah ini. Namun, semangat hidupnya tak pernah pudar. Ia membanting
tulang membantu prekonomian keluarganya semata – mata hanya untuk dua orang
anaknya. Imah hanya ingin kedua anaknya mampu melanjutkan sekolah hingga lulus
sekolah menengah atas, tidak seperti dirinya yang hanya tamatan SD. Ia
berharap nantinya mereka mampu memutar balik dan mengikuti alur kehidupan di
kota Jakarta, mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan tidak menggantungkan
nasibnya pada orang lain.